Sejarah Budaya Lontong Cap Go Meh, Makanan Perpaduan 2 Budaya
Lontong adalah hidangan yang identik dengan perayaan Cap Go Meh. Makanya kata itu seolah tak terpisahkan, makanya farong disebut Cap Go Meh.
Meski perayaan Imlek sudah di belakang kita, masih menarik untuk membicarakan makanan unik yang akan disajikan di meja makan keluarga Cap Go Meh pada hari ke-15 dan awal hari terakhir pesta. Untuk Tahun Baru Imlek, mengutip Indonesia Travel, Selasa (15/2)/2022.
Keluarga Tionghoa di Peranaka biasanya berkumpul pada tanggal 15 bulan pertama Tahun Baru Imlek. Mereka dengan senang hati membagikan hidangan khas yang dikenal sebagai longong Cap Go Meh ini.
Ini adalah hidangan perpaduan masakan Jawa. Salep ini terdiri dari banyak lauk pauk dan bahan-bahan yang disatukan dalam perawatan yang semarak dan luar biasa.
Secara historis, beberapa versi sejarah dari makanan ini lahir. Pada abad ke-14, imigran Cina tidak bisa membawa wanita bersama mereka. Oleh karena itu, perempuan Jawa kemudian dinikahkan, sehingga terciptalah budaya Peranakan Sino-Jawa.
Asimilasi budaya
Ketika mereka menetap di Jawa, mereka terbiasa dengan makanan tradisional yang disiapkan oleh istri mereka. Sejak itu, setiap Tahun Baru Imlek, farong, kue beras lokal yang disajikan dengan berbagai masakan Jawa, ditambahkan sebagai pengganti Yuanxiao tradisional.
Oleh karena itu Lontong Cap Go Meh melambangkan asimilasi dua budaya. Simbol suasana meriah dan keberuntungan Tahun Baru.
Bentuk lontong Cap Go Meh yang memanjang merupakan lambang umur panjang. Telur rebus melambangkan keberuntungan dan kuah santan kunyit melambangkan emas sebagai lambang kekayaan.
Sam Po Kong
Nama Lontong Cap Go Meh memiliki sejarah yang melegenda. Apalagi sejak tahun Sam Po Kong yang lebih dikenal dengan Laksamana Zheng He, pertama kali menginjakkan kaki di Semarang, Jawa Tengah.
Umumkan kontes untuk merayakan Cap Go Meh, siapa yang tahu cara membuat sup terbaik untuk hari besar.
Ketika pemenang terungkap, Datuk bertanya bagaimana dengan supnya. Sam Po Kong kemudian meminta salah satu timnya untuk mencatat hasil Datuk sebagai “Luang Tang Shiwu Ming”, yang berarti sup dengan berbagai bahan ini menduduki peringkat ke-15.